Istilah Sati (Su-thi atauSut te e) di India di duga keras berasal dari kisah Dewi Sati, yang juga dikenal dengan nama Dakshayani. Dewi Sati atau Dakshayani di kenal akan tindakan pengorbanan dirinya dengan terjun ke dalam api pembakaran, karena ia tak mampu menahan penghinaan Dakhsa (ayahnya), terhadap Shiva (suaminya). Setelah pembakaran diri dan mati, Dakshayani bereinkarnasi, lahir untuk kedua kalinya sebagai puteri dari raja gunung, Himawan, dengan nama Parvati, yang akhirnya kembali menjadi istri dari Shiva untuk kedua kalinya.
Kematian seorang wanita yang naik ke tumpukan kayu bakar kremasi mayat suami dan mati bersama. Mayat suami di kremasi terlebih dahulu dan sang istri kemudian di kremasi terpisah ditempat lain, kadang-kadang dengan abu suami atau kenang-kenangan lain dari suami. Sedangkan pada masa peperangan, para istri dari pangeran dan raja yang kalah melakukan bunuh diri (Jauhar) untuk menghindari diri jatuh ke tangan musuh yang menang.
Di India, bentuk kesetiaan seorang wanita terhadap pasangannya, sudah terpatri Dalam dan berlangsung sejak beratus abad. Pada periode epikdi India (sekitar 500 SM - 500 M) buku-buku hukum yang disebut Dharmashastra, atau risalah tentang perilaku yang benar (dharma), di kompilasi olehgolongan lelaki Brahman menjadi standar agamayang digunakan untuk mengukur perilaku seseorang.
Sehingga, kebahagiaan hidup seorang istri yang ideal adalah memuaskan suaminya secara penuh, sedangkan kekhawatiran seorang istri yang sejati adalah ketidakmampuan melakukan pengabdian secara utuh dan menyeluruh. Pengabdian dalam bentuk kesetiaan yang tidakdapat dipisahkan sekalipun dengan kematian.Keseluruhan sikap dan kesempurnaan ekspresi kesetiaan tertinggi seorang istri dalam suatu perkimpoian di India diungkapkan dalam bentuk Sati.
Praktek Sati akhirnya dilarang oleh Pemerintah Inggris pada tahun 1829 oleh Lord Bentinck,Gubernur-Jenderal India (1828-1835) dan diperkuat kembali di abad 20 pada Sati (Prevention)Act 1987. Namun, terlepas dari larangan hukum pada kenyataannya, hal ini terus terjadi hinggaabad ke 21, sebagaimana dibuktikan dengan berita terakhir pada tanggal 13 Oktober 2008, didesa Chechar (India tengah). Seorang janda bernama Lalmati Verma berusia 71 tahun,mengorbankan dirinya kedalam tumpukan api kremasi Shivnandan Verma, suaminya.
Itulah sati merupakan simbol kestiaan tertinggi seorang istri kepada suaminya. Masih maukah istri-istri sekarang mengorbankan segalanya untuk suaminya???. Apakah praktek sati harus diterapkan lagi, jika melihat kenyataan-kenyataan sekarang, dimana banyak seseorang yang berstatus istri, malah selingkuh dan menyeleweng pada suaminya???, meskipun di sisi lain praktek sati tidak manusiawi, namun maknanya harus diresapi. Itulah sati simbol kesetiaan Istri kepada suaminya.
0 comments:
Post a Comment